Blue Fire Pointer

Pages

Categories

Senin, 16 Februari 2015

SYAUQY VII (Menggapai Indahnya Cinta Bersama Al-Qur’an) Part 2

SYAUQY VII
(Menggapai Indahnya Cinta Bersama Al-Qur’an)
PART 2
Dalam kegelapan ku lihat dua orang yang sangat aku kenal, dua orang yang sangat aku cinta dan sayangi. Ya mereka adalah ayah dan bundaku, dengan berderai air mata, aku berlari mengahmpiri mereka dan mereka langsung memelukku dengan pelukan yang hangat. Ku pandangi wajah bunda inchi demi inchi, ku tatap wajahnya kini telah semakin menua, kerutan di dahinya menggambarkan dengan jelas betapa dahsyatnya rasa rindu ditinggalkan oleh anak-anaknya, ya kini orang tuaku hanya sendiri di rumah. Kaka pertamaku sudah menikah dan memiliki rumah sendiri, aku dan kaka keduaku juga memutuskan untuk kuliah di luar kota yang berarti kami tak bisa pulang pergi dari rumah ke kampus.
Ku pandangi kini mata bunda yang mulai meneteskan air yang bening dan hangat, betapa tidak setelah berbulan-bulan di tinggalkan anaknya, kini kami bisa bersatu kembali dalam pelukan kasih sayang ini. Mataku mulai aku arahkan kepada ayah, tak ada air mata disetiap sudut mata ayah, tapi itu bukan berarti beliau tidak merasa terharu akan kepulanganku, aku yakin didalam hatinya pasti sudah sangat basah dengan tangisan penuh haru, hanya saja ayah tak ingin terlihat lemah dimata siapapun, karena bagi ayah air mata adalah sebuah tanda kelemahan. Ku lepaskan pelukanku dari bunda dan kulingkarkan tanganku ke tubuh ayah, kulihat bunda hanya tersenyum dan kurasakan kini tangan ayah juga mulai melingkar dibelakang punggungku.  Hangat, yah hangat sekali raanya berada dalam pelukan ayah. Perlahan kulihat bunda juga menghampiri kami dan mulai memeluk diriku yang sedang dalam pelukan ayah.  Tapi tiba-tiba bunda dan ayah melepaskan pelukannya dan mulai pergi menjauh dariku, aku berlari mengejar mereka dengan  bercucuran air mata, terus ku kejar mereka akan tetapi mereka terus menjauh dan perlahan-lahan ditelan kegelapan dan saat itu pula terdengar suara nada “kriirngg…. Kringgg…  kriiinggg …!!!” aku terkejut dan langsung terbangun, ternyata yang kulihat tadi hanyalah mimpi, tapi sangat tersa nyata dan kulihat bantalku juga basah dengan air mata, ku pandangi cermin dan kulihat mataku yang  sembab, yah dalam tidurku aku menangis menahan hantaman rindu yang semakin menggebu. Terasa nyenyak sekali tidur setelah shalat subuh. Ku lihat jam yang ada di handphone ku “ hah.. sudah jam 08.45” ku lupakan kerinduan itu dan aku bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku karena jam 09.00 aku harus menyetorkan hapalanku.
Matahari kini telah terbit, menghangatkan bumi yang sedang aku singgahi, waktu dhuha telah datang ku bentangkan sajadah dan mulai menikmati setiap gerakan sholatku, gerakan yang anggun dan syarat akan makna, salah satunya adalah sujud, mengapa pada saat sujud kepala yang selalu di bangga-banggakan manusia kini sejajar dengan kedua telapak tangan, kedua siku, kedua lutut kaki, dan kedua jari-jemari kaki ? bahkan muka yang sangat terhormatpun kini menempel dengan tanah. Pada hakikatnya sujud mengingatkan manusia dari awal penciptaannya yaitu dari tanah. Disamping itu juga tanah merupakan tanda kehinaan dan kerendahan diri manusia di hadapan Allah SWT, dengan sujud kita melakukan penyerahan diri secara totalitas kepada dzat yang maha agung lagi maha tinggi. Setelah selelsai sholat dan bermunajat kepadaNya, ku ulang sedikit hapalan yang akan ku setorkan. Setelah merasa cukup lancar ku kecup lagi Al-Qur’anku dan mulai memeluknya untuk di bawa ke tempat setoran.
Kicauan burung saling sahut menyahut, seperti sedang berbicara dengan burung yang lainnya entah apa yang dibicarakan, mungkinkah saat itu burung-burung sedang berbicara mengenaiku atau ingin berbicara mengenai keadaan keluargaku, ah andai bahasa burung termasuk pada mata kuliah, ingin sekali rasanya aku bisa menitipkan pasan kepada meraka, aku ingin menitipkan salam rinduku kepada keluarga dan teman-teman semasa MAN yang amat ku rindukan, sudah lama sekali rasanya tidak berjumpa dengan mereka. Sambil terus berjalan ku amati keadaan sekeliling pondok, amat berbeda dari biasanya. Sepi, seperti tak pernah ada ratusan mahasantri yang tinggal disini, pintu-pintu pondok terbuka dan jendela-jendela di tiap kamarnya pun terbuka siang dan malam. Jika pada hari-hari biasa ada saja pakaian yang menggantung di jendela-jendela kamar dan sepatu+sandal yang tercecer di luar gedung pondok, kini semuanya bersih dan rapi. Entah kenapa kebersihan dan kerapihan itu yang membuatku merasa aneh, membuatku merasa tidak nyaman, karena dengan tidak adanya pakaian dan sepatu yang tercecer membuatku semakin sadar bahwa aku disini sendirian, ya sendirian hanya ditemani para penghafal yang jumlahnya tak lebih dari 10 orang.
“wahai tuhanku bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatmu”. Setelah kubaca do’a itu ku langkahkan kaki kanan ku dan mulai memasuki rumah Allah SWT yang sejuk. Di dalam masjid sudah berkumpul teman-teman ku yang lain. Ada yang sedang memperlancar hapalannya dan ada juga yang sedang setoran. Kupilih untuk duduk sebentar dan memperlancar lagi apa yang ingin aku setorkan. Kali ini aku akan muroja’ah yaitu mengulang kembali hapalan yang telah aku setorkan tapi mengulangnya dihadapan guru (mustami’). Bagiku muroja’ah lebih sulit dibandingkan menyetorkan hapalan baru, karena jika menyetorkan hapalan baru paling 1 lembar atau 2 halaman. Tapi jika muroja’ah kita harus mampu menghapal apa yang telah disetorkan. Aku diperintahkan untuk muroja’ah per seperempat juz atau 5 lembar. Ya beginilah menghafal Al-Qur’an, bukan hanya menambah hapalan tiap harinya akan tetapi juga mampu untuk menjaga apa yang telah dihapal dan menjaga lebih sulit daripada memulai.
Walaupun telah ku ulang berkali-kali tapi tetap saja kesalahan masih saja menyertaiku saat setoran, terkadang aku tak tahu apa ayat selanjutnya setelah ayat ini, atau aku lupa bagian terakhir ayat seperti apakah la’allakum tuflihun atau la’alakum turhamun dan lain sebagainya.

Matahari kini hampir sampai di atas kepala, suara adzan mulai menggema di bumi cinta yang aku singgahi ini, dikarenakan rindu untuk segera bertemu dengan penciptaku, dengan kemeja putih dan sarung biru bergaris, ku percepat langkahku menuju tempat bertemunya manusia dengan penciptanya, kulihat juga penduduk sekitar kampus bergegas menuju tempat yang sama, ya di masjid ini bukan hanya civitas akademika yang melakasanakan ibadahnya akan tetapi masyarakat sekitar kampus juga melaksanakan ibadahnya disini karena masjid kampus yang bisa dibilang cukup besar dan dekat dengan perumahan warga. 
Setelah melaksanakan kewajiban sebagai umat islam, ah rasanya bukan kewajiban tapi kebutuhan, ya kurasa sholat telah menjadi kebutuhan karena jika belum melaksanakan shalat rasanya ada yang kurang, seperti orang Indonesia yang sebelum makan nasi walaupun telah makan biscuit, pilus, kacang dan makanan ringan yang lainnya tapi tetap saja merasa ada yang kurang, nasi. Ya, nasi lah yang selalu mengisi perut orang-orang Indonesia akan tetapi terkadang ada yang lupa bahwa bukan hanya jasad saja yang membutuhkan makan, bukan hanya perut saja yang harus diisi tapi ruh juga harus diisi, ruh juga harus diberi makan, seperti nasi yang sudah menjadi kebutuhan, ibadah kepada sang pencipta juga seharusnya dijadikan kebutuhan agar ruh tidak kering. Itulah problematika masyarakat modern saat ini, dengan kemajuan zaman yang sangat pesat, teknologi yang kian canggih dan semua kemudahan-kemudahan menjalani kehidupan dunia ini tak langsung membuat hati-hati manusianya merasa senang, jika teknologi, harta dan jabatan bisa membuat hati tenang lalu bagaimana kita menjelaskan orang-orang yang terkenal dan berada dalam puncak ketenarannya akan tetapi wafat dengan cara bunuh diri ? ya, justru di zaman yang semakin modern inilah spiritual harus diperkuat.
Aku duduk dan ku sandarkan bahuku di tembok masjid, ku buka mushaf yang suci dan mulai menghapal lagi untuk setoran nanti malam, tak lupa ku ulangi hapalan yang telah disetorkan agar tidak lupa dan hapalannyaa semakin kuat.
 Mata ku terus menyusuri kata-kata indah penuh makna dalam Al-Qur’an dan aku  terhenti saat mengulang ayat 38-39 dari surat Al-Baqarah, hatiku tiba-tiba terasa sesak, mataku mulai memerah. ku ulangi bacaanku tadi, kali ini entah kenapa suaraku terisak, butiran bening mulai turun dari kedua sudut mataku. Aku teringat panjelasan dari guruku bahwa dalam kitab tafsir jalalain karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi dan Imam Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally dikatakan bahwa tafsir dari ayat itu adalah
 038. (Kami berfirman, "Turunlah kalian daripadanya") maksudnya dari surga (semuanya) diulanginya dan dihubungkan-Nya dengan kalimat yang mula-mula tadi (kemudian jika) asalnya dari 'in maa' yang diidgamkan menjadi 'immaa' yang berarti jika; 'in' huruf syarat dan 'maa' sebagai tambahan. (datang petunjuk-Ku kepada kalian) berupa Kitab dan rasul, (maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku) lalu ia beriman kepada-Ku dan beramal serta taat kepada-Ku (niscaya tak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka berduka cita), yakni di akhirat kelak, karena mereka akan masuk surga.
039. (Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami) mendustakan kitab-kitab suci Kami (mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya) mereka tetap tinggal di sana untuk selama-lamanya, tidak akan mati dan tidak pula akan keluar.

Sungguh indah nikmat Allah SWT bagi orang yang beriman kepadaNya dan sungguh pedih adzab Allah SWT bagi yang ingkar kepadaNya. Saat ku baca ayat itu, batinku menangis mengingat dosa-dosa yang salama ini telah aku lakukan, aku dengan sadar bahkan bangga dengan dosa-dosa yang aku kerjakan, saat aku bercanda dengan temanku mungkin saat itu dia tertawa, tapi aku tak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan dalam hatinya. Dalam melaksanakan ibadah pun terkadang niatku tidak tulus demi mengharapkan ridhaMu, aku ibadah karena aku mengharap agar bisa memasuki surgamu yang engkau gambarkan dengan tempat segala kenikmatan, tempat yang segalanya bisa terkabul atau aku beribadah karena takut akan nerakaMu yang engkau gambarkan sebagai tempat paling hina dari segala tempat, tempat yang didalamnya terdapat api yang nyala apinya bisa membekar sampai ke uluh hati.
Aku teringat sebuah syair dari seorag sufi wanita yang cintanya kepada Allah SWT melebihi cintanya kepada apapun didunia ini, dia adalah Rabiah Al-Adawiyah.
Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku padaNya
Ya Allah, jika aku menyembahMu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembahMu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembahMu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
Yang abadi padaku
Alangkah buruknya,
Orang yang menyembah Allah
Lantaran mengharap surga
Dan ingin diselamatkan dari api neraka
Seandainya surga dan neraka tak ada
Apakah engkau tidak akan menyembah-Nya?
Aku menyembah Allah
Lantaran mengharap ridha-Nya
Nikmat dan anugerah yang diberikan-Nya
Sudah cukup menggerakkan hatiku
Untuk menyembah-Mu

Bersambung...
Previous part 1                                                                                 Next part 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About