Blue Fire Pointer

Pages

Categories

Senin, 24 November 2014

Permata yang Hilang

Permata yang hilang
Langit hitam mulai memancarkan cahaya emas di sudut timur dunia, menghangatkan bumi dari dinginnya malam, pagi 10 dzulhijjah 1435 H, pagi itu suasana hati Riki sangat tak menentu, walaupun disisi lain hati Riki merasa bahagia karena sedang merayakan hari idul adha akan tetapi entah apa yang terjadi di rumahnya atau hal lain yang membuat pikirannya merasa tidak nyaman. Setelah selesai melaksanakan sholat idul adha, berjam-jam Riki mencoba menemukan jawaban mengapa pikirannya amat tidak nyaman, dia mencoba menelpon keluarganya dirumah, tetapi ibunya berkata bahwa semuanya berjalan baik-baik saja. jawaban itu tidak semena-mena membuat hati Riki nyaman, pikirannya tetap melayang-layang, entah apa yang dipikirkannya.
Tiba-tiba Riki teringat dengan perkataan ketua organisasi yang dia  ikuti,  bahwa hari ini Riki bersama teman-teman LDK (lembaga dakwah kampus) akan melakukan kurban di sebuah panti asuhan di kota yang saat ini Riki berkuliah  yaitu kota Malang. Pikiran Riki tentang keadaan keluarga di provinsi Banten pun dibiarkan berlalu begitu saja walau dalam hati amat mengganjal.
Sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang, menembus cuaca kota Malang yang mulai menghangat. Pemandangan indah yang ditawarkan kota Malang disepanjang perjalanan membuat pikiran Riki mulai tenang.  Semua berjalan lancar, sang ikhwan menguliti dan memotong-motong bagian dari daging tersebut untuk dibagikan kepada anak-anak panti asuhan dan sebagian kecil yang lain untuk dimakan bersama, sedangkan teman-teman akhwat memasak potongan daging kambing yang telah dipotong kecil menjadi sate kambing. Tentu tenaga kipas sate adalah ikhwan juga. mulai dari penyembelihan seekor kambing hingga pembagian masakan daging kurbanpun berjalan lancar, kemudian Riki bersama teman-teman LDK menyantap masakan buatan mereka  yang masih tersisa.
Matahari kebali bersembunyi dibalik singgasananya, langit sesaat menjadi jingga dan kemudian berubah menjadi hitam. Saat itulah Riki bersama semua rombongan berpamitan kepada pemilik panti asuhan untuk menuju ma’had sunan ampel al-'aly tempat Riki tinggal sekarang, sedangkan yang lain pulang menuju kostan mereka masing-masing. Setelah sampai di ma’had/pondok Riki tak lupa melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim dan sesaat setelah itu Riki merebahkan tubuhnya diranjang hingga akhirnya terlelap melupakan segala aktifitas yang telah terjadi pada hari kemarin, sedangkan di luar, bulan bercahaya terang yang sinarnya sampai kepada kota asal kelahirannya di kota Cilegon.
Dinginnya malam membangunkan Riki walau saat keadaan lelah Riki memaksakan diri untuk bangun demi berkomunikasi dengan dzat yang telah menciptakan dirinya. Riki hanyut dengan munajatnya dengan sang maha pendengar hingga adzan subuh dikumandangkan. Matanya yang memerah dikarenakan kantuk membuat Riki merebahkan tubuhnya kembali saat telah ibadah subuh dan membaca wirdullathif.
Tak sampai 1 jam Riki merebahkan tubuhnya, handphone Riki berdering. Karena belum terlalu lelap, Riki mendengar dering hp tersebut dan melihat bahwa yang menelpon adalah bernama “Bapak” yang menunjukan bahwa yang menelpon adalah orang tuanya entah ibu atau ayahnya. Sura itu terasa amat lembut akan tetapi sedikit menahan rasa sedih, mungkin karena kesedihannya yang terlampau tinggi hingga sesaat saja Riki sudah merasa bahwa yang akan di bicarakan oleh yang menelvon sekarang adalah bukan berita bahagia.
“Hallo… Assalamu’alaikum”  terdengar suara wanita yang amat Riki kenal, teranyata yang menelvon adalah ibunda Riki. “Oh Wa’laikumsalam Wr.Wb bun” jawab Riki dengan nada mulai khawatir. “ada apa bun ?” Tanya Riki “oh ndak ada apa-apa, ibu Cuma mau tahu kabar kamu, kamu bagaimana di Malang ? apakah kamu kerasan disana ? lalu apakah teman-temanmu sudah pulang? Katanya mereka kemarin pulang ke rumah mereka masing-masing” Tanya ibunda Riki dengan nada yang halus akan tetapi masih terdengar dengan jelas sedang menyembunyikan sesuatu. “kabar aku baik-baik saja bun, disini aku amat betah karena keinginanku kan dari dulu ingin seperti ini, menjadi santri yang tinggal di pondok dan Alhamdulillah teman-temanku sudah kembali lagi dari kampung halaman mereka” jawab Riki menyembunyikan apa yang ia rasakan tentang ibundanya. “Rik, ibu boleh mengatakan sesuatu kepadamu”? Tanya ibunda Riki  “ah tentu bu, katakanalah apa yang ingin ibunda katakan” jawab Riki, saat itu perasaan Riki semakin memburuk, merasa bahwa yang akan dikatakan ibundanya adalah hal-hal yang tidak membuat dia tersenyum. “akan tetapi setelah ibu mngetakan ini kepadamu kamu harus berjanji kamu tidak akan sedih ataupun marah yah kepada ibu”  kata-kata ibunda membuat Riki merasa bahwa perasaan tidak nyaman kemarin akan terjawab pada saat ini. “iyah bun katakanlah apa yang ingin ibunda katakan” jawab Riki. “sebenarnya ibu ingin mengatakan hal ini sejak kemarin akan tetapi ibu khawatir dengan keadaan kamu, karena kamu sedang sendiri di pondok dan jika ibu katakan kemarin ibu khawatir akan merusak suasana acaramu nak. Sebenarnya.....  nenekmu telah tiada sejak satu hari sebelum hari raya nak.” Suara itu seperti petir yang menyambar di siang bolong, Riki terkejut, sedih sekaligus marah kenapa hanya dirinya yang paling terakhir di beri kabar. “Bukannya ibu tidak memperdulikannmu nak, apalagi lupa memberi kabar kepadamu, akan tetapi ibu hanya khawatir dengan keadaanmu yang sendirian dan tidak ada yang menghibur dirimu.” Lanjut ibu yang tak ingin anaknya salah sangka kepada ibunya sendiri. “innalillahi wa innailaihi raji’un,” bibir Riki bergetar dan hanya itu kata-kata yang mampu keluar dari bibir pemuda berumur 18 tahun itu. “iyah nak kami sekeluarga disini sedang berkabung sehingga pada hari raya kemarin ibu tidak menelvonmu” kata ibunda Riki. “Iyah bu tidak apa-apa, aku mengerti maksud ibu, semua adalah milik-Nya dan kepada-Nyalah semua kembali, aku memang merasa sedihh bun, apalagi selama ini beliau adalah sosok yang amat berarti dalam hidupku, tingkahlaku dan ucapanku selalu aku jaga karena nasihat-nasihat dari beliau, beliau selalu menceritakan aku tentang masalah akhirat dan bagaimana aku harus mempersiapkan bekal untuk menghadapinya, bibir yang keriput itu seakan tak ada lelahnya memberikan nasehat bahkan bukan hanya kepadaku akan tetapi kepada semua cucu-cucunya.” Cerita riki kepada ibundanya. “ iyah nak yang jelas kamu harus senantiasa mendo’akannya agar arwah nenekmu bisa ditempatkan di tempat yang layak, yaitu bersama orang-orang yang beriman” jawab ibu, percakapan itu terus berlangsung selama kurang lebih 30 menit hingga akhirnya ibunda memohon diri karena ada yang harus diselesaikan untuk 3 hari almarhumah.
Riki teringat pesan neneknya sebelum dia berangkat ke kota Malang bahwa “Rik, jika kamu sudah di Malang dan jika nenekmu sakit bahkan meninggal, kamu jangan pulang yah, cukup do’akan nenek dan kalau memang memungkinkan, sholatkan nenek dari sana bersama teman-temanmu” saat mengingat ucapan lembut itu tak terasa air mata Riki mulai keluar dari kedua sudut bola matanya. 
Waktu itu terasa berlalu dengan begitu cepat, matahari kini telah digantikan oleh rembulan, saat itu Riki mengajak teman-teman satu kamarnya untuk melaksanakan sholat gaib teruntuk neneknya yang amat ia cintai.

Kini permata yang cantik nan menawan dalam hidup Riki telah tiada, yaah permata itu tidak lain adalah neneknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About