Permata yang hilang
Langit hitam mulai
memancarkan cahaya emas di sudut timur dunia, menghangatkan bumi dari dinginnya
malam, pagi 10 dzulhijjah 1435 H, pagi itu suasana hati Riki sangat tak
menentu, walaupun disisi lain hati Riki merasa bahagia karena sedang merayakan
hari idul adha akan tetapi entah apa yang terjadi di rumahnya atau hal lain yang
membuat pikirannya merasa tidak nyaman. Setelah selesai melaksanakan sholat idul
adha, berjam-jam Riki mencoba menemukan jawaban mengapa pikirannya amat tidak nyaman,
dia mencoba menelpon keluarganya dirumah, tetapi ibunya berkata bahwa semuanya
berjalan baik-baik saja. jawaban itu tidak semena-mena membuat hati Riki
nyaman, pikirannya tetap melayang-layang, entah apa yang dipikirkannya.
Tiba-tiba Riki teringat
dengan perkataan ketua organisasi yang dia
ikuti, bahwa hari ini Riki
bersama teman-teman LDK (lembaga dakwah kampus) akan melakukan kurban di sebuah
panti asuhan di kota yang saat ini Riki berkuliah yaitu kota Malang. Pikiran Riki tentang
keadaan keluarga di provinsi Banten pun dibiarkan berlalu begitu saja walau dalam
hati amat mengganjal.
Sepeda motor melaju
dengan kecepatan sedang, menembus cuaca kota Malang yang mulai menghangat. Pemandangan
indah yang ditawarkan kota Malang disepanjang perjalanan membuat pikiran Riki
mulai tenang. Semua berjalan lancar,
sang ikhwan menguliti dan memotong-motong bagian dari daging tersebut untuk
dibagikan kepada anak-anak panti asuhan dan sebagian kecil yang lain untuk
dimakan bersama, sedangkan teman-teman akhwat memasak potongan daging kambing
yang telah dipotong kecil menjadi sate kambing. Tentu tenaga kipas sate adalah
ikhwan juga. mulai dari penyembelihan seekor kambing hingga pembagian masakan daging
kurbanpun berjalan lancar, kemudian Riki bersama teman-teman LDK menyantap masakan
buatan mereka yang masih tersisa.
Matahari kebali
bersembunyi dibalik singgasananya, langit sesaat menjadi jingga dan kemudian
berubah menjadi hitam. Saat itulah Riki bersama semua rombongan berpamitan
kepada pemilik panti asuhan untuk menuju ma’had sunan ampel al-'aly tempat Riki
tinggal sekarang, sedangkan yang lain pulang menuju kostan mereka masing-masing.
Setelah sampai di ma’had/pondok Riki tak lupa melaksanakan kewajibannya sebagai
seorang muslim dan sesaat setelah itu Riki merebahkan tubuhnya diranjang hingga
akhirnya terlelap melupakan segala aktifitas yang telah terjadi pada hari
kemarin, sedangkan di luar, bulan bercahaya terang yang sinarnya sampai kepada
kota asal kelahirannya di kota Cilegon.
Dinginnya malam
membangunkan Riki walau saat keadaan lelah Riki memaksakan diri untuk bangun
demi berkomunikasi dengan dzat yang telah menciptakan dirinya. Riki hanyut
dengan munajatnya dengan sang maha pendengar hingga adzan subuh dikumandangkan.
Matanya yang memerah dikarenakan kantuk membuat Riki merebahkan tubuhnya
kembali saat telah ibadah subuh dan membaca wirdullathif.
Tak sampai 1 jam Riki
merebahkan tubuhnya, handphone Riki berdering. Karena belum terlalu lelap, Riki
mendengar dering hp tersebut dan melihat bahwa yang menelpon adalah bernama
“Bapak” yang menunjukan bahwa yang menelpon adalah orang tuanya entah ibu atau
ayahnya. Sura itu terasa amat lembut akan tetapi sedikit menahan
rasa sedih, mungkin karena kesedihannya yang terlampau tinggi hingga sesaat
saja Riki sudah merasa bahwa yang akan di bicarakan oleh yang menelvon sekarang
adalah bukan berita bahagia.
“Hallo…
Assalamu’alaikum” terdengar suara wanita
yang amat Riki kenal, teranyata yang menelvon adalah ibunda Riki. “Oh
Wa’laikumsalam Wr.Wb bun” jawab Riki dengan nada mulai khawatir. “ada apa bun ?”
Tanya Riki “oh ndak ada apa-apa, ibu Cuma mau tahu kabar kamu, kamu bagaimana
di Malang ? apakah kamu kerasan disana ? lalu apakah teman-temanmu sudah
pulang? Katanya mereka kemarin pulang ke rumah mereka masing-masing” Tanya
ibunda Riki dengan nada yang halus akan tetapi masih terdengar dengan jelas
sedang menyembunyikan sesuatu. “kabar aku baik-baik saja bun, disini aku amat
betah karena keinginanku kan dari dulu ingin seperti ini, menjadi santri yang
tinggal di pondok dan Alhamdulillah teman-temanku sudah kembali lagi dari
kampung halaman mereka” jawab Riki menyembunyikan apa yang ia rasakan tentang
ibundanya. “Rik, ibu boleh mengatakan sesuatu kepadamu”? Tanya ibunda Riki “ah tentu bu, katakanalah apa yang ingin ibunda katakan” jawab Riki, saat itu perasaan Riki semakin memburuk, merasa bahwa yang
akan dikatakan ibundanya adalah hal-hal yang tidak membuat dia tersenyum. “akan
tetapi setelah ibu mngetakan ini kepadamu kamu harus berjanji kamu tidak akan
sedih ataupun marah yah kepada ibu”
kata-kata ibunda membuat Riki merasa bahwa perasaan tidak nyaman
kemarin akan terjawab pada saat ini. “iyah bun katakanlah apa yang ingin ibunda
katakan” jawab Riki. “sebenarnya ibu ingin mengatakan hal ini sejak kemarin
akan tetapi ibu khawatir dengan keadaan kamu, karena kamu sedang sendiri di
pondok dan jika ibu katakan kemarin ibu khawatir akan merusak suasana acaramu
nak. Sebenarnya..... nenekmu telah tiada sejak satu hari sebelum hari raya nak.”
Suara itu seperti petir yang menyambar di siang bolong, Riki terkejut, sedih
sekaligus marah kenapa hanya dirinya yang paling terakhir di beri kabar.
“Bukannya ibu tidak memperdulikannmu nak, apalagi lupa memberi kabar kepadamu, akan tetapi ibu hanya khawatir dengan keadaanmu yang sendirian dan tidak ada
yang menghibur dirimu.” Lanjut ibu yang tak ingin anaknya salah sangka kepada
ibunya sendiri. “innalillahi wa
innailaihi raji’un,” bibir Riki bergetar dan hanya itu kata-kata yang mampu keluar dari bibir
pemuda berumur 18 tahun itu. “iyah nak kami sekeluarga disini sedang berkabung
sehingga pada hari raya kemarin ibu tidak menelvonmu” kata ibunda Riki. “Iyah
bu tidak apa-apa, aku mengerti maksud ibu, semua adalah milik-Nya dan
kepada-Nyalah semua kembali, aku memang merasa sedihh bun, apalagi selama ini
beliau adalah sosok yang amat berarti dalam hidupku, tingkahlaku dan ucapanku
selalu aku jaga karena nasihat-nasihat dari beliau, beliau selalu menceritakan
aku tentang masalah akhirat dan bagaimana aku harus mempersiapkan bekal untuk menghadapinya,
bibir yang keriput itu seakan tak ada lelahnya memberikan nasehat bahkan bukan
hanya kepadaku akan tetapi kepada semua cucu-cucunya.” Cerita riki kepada
ibundanya. “ iyah nak yang jelas kamu harus senantiasa mendo’akannya agar arwah
nenekmu bisa ditempatkan di tempat yang layak, yaitu bersama orang-orang yang
beriman” jawab ibu, percakapan itu terus berlangsung selama kurang lebih 30
menit hingga akhirnya ibunda memohon diri karena ada yang harus diselesaikan
untuk 3 hari almarhumah.
Riki teringat pesan neneknya sebelum dia berangkat ke kota Malang bahwa “Rik, jika kamu sudah di Malang dan jika nenekmu sakit bahkan meninggal, kamu jangan pulang yah, cukup do’akan nenek dan kalau memang memungkinkan, sholatkan nenek dari sana bersama teman-temanmu” saat mengingat ucapan lembut itu tak terasa air mata Riki mulai keluar dari kedua sudut bola matanya.
Waktu itu terasa berlalu dengan begitu cepat, matahari kini telah digantikan
oleh rembulan, saat itu Riki mengajak teman-teman satu kamarnya untuk melaksanakan
sholat gaib teruntuk neneknya yang amat ia cintai.
Kini permata yang cantik nan menawan dalam hidup Riki telah tiada, yaah permata itu tidak
lain adalah neneknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar