Blue Fire Pointer

Pages

Categories

Kamis, 19 Februari 2015

SYAUQY VII (Menggapai Indahnya Cinta Bersama Al-Qur’an) PART 3

SYAUQY VII
(Menggapai Indahnya Cinta Bersama Al-Qur’an)
PART 3
Senja di kota Malang, pancaran mentari jingga menyepur seluruh permukaan di kota ini, di pasar Merjosari yang terletak tak jauh dari kampus UIN Maulana Malik Ibrahim ku lihat para pedagang mulai menutup tempat dagangannya. Tampak beberapa dari mereka menutup dagangannya dengan wajah yang gembira karena mungkin mendapatkan banyak keuntungan dari hasil dagangannya dan ada pula yang menutup warung dagangannya dengan wajah yang kurang senang.
Bapak yang berkumis tebal itu tampak kesal saat menutup warung dagangannya, beliau adalah salah satu penjual buah-buahan yang ada di pasar itu. jika buah-buahan dari pedagang yang lainnya sudah banyak yang habis tapi saat kulihat tumpukan buah-buhan bapak berkumis itu tampak masih rapih, hanya terlihat gundukan jeruk dan apel yang sudah tidak rapih lagi, dan kotak buah manga yang renggang-renggang yang menandakan beberapa dari isinya sudah ada yang membeli. ku arahkan mataku ke penual baju, tampak baju-baju yang lucu untuk anak-anak dan berbagai jenis baju untuk usia remaja hingga dewasa dengan berbagai gambar, bentuk dan warna. Aku sempat bingung dengan baju anak-anak berwarna merah yang bertuliskan “Kera ngalam”. Pikirku saat itu berkata sangat tak pantas sekali baju anak-anak dengan tulisan seperti itu, tapi setelah bertanya kepada teman yang asli orang malang ternyata ya begitulah tradisi malang, tapi bukan mengajari anak untuk berkata kotor tapi budaya malang yaitu membalikkan kata, seperti “ngalam” itu berarti “Malang” sehingga baju yang bertuliskan “Kera ngalam” tadi sebenarnya maksudnya “Arek Malang”. Arek berarti anak atau orang. hampir semua teman-temanku yang asli malang melakukan hal itu seperti saat ditanya apa kabar mereka menjawab “tahes” atau saat ku katakan pada mereka aku tunggu di kampus yah, temanku jawab “oyi”. Ya inilah Indonesia dengan berbagai keunikannya, berbagai bahasa, adat dan budaya.  Aku bangga menjadi anak Indonesia. “Tuhan, Negeri ini indah, bantu kami menjaganya”.  :)
Sepedaku melaju cepat menembus jalan yang memang tak terlalu ramai. Karena bosan dengan suasana kampus, jadi sejak ba’da ashar aku memilih untuk menghapal di taman Merjosari yang kebetulan letaknya berhadap-hadapan dengan pasar Merjosari. Ku kayuh sepedaku menuju kampus kembali karena sekarang sudah pukul 17.30 dan maghrib disini adalah pukul 18.00 lain dengan kota kelahiran ku yaitu terkadang pukul 18.05 atau 18.10 bahkan pernah saat bulan Ramadhan, waktu maghribnya pukul 18.15 atau bahkan 18.20.
Ba’da maghrib adalah waktu yang sakral bagi para peserta syauqy, tak perduli walaupun lapar datang menghantam perut, dering hp yang bertalu-talu bahkan walaupun si doi yang mengirim pesan pun kami tetap duduk bersandar dan melanjutkan hapalan hingga isya datang karena khawatir hapalan yang kami hapal hilang yang berakibat pada hancurnya hapalan saat setoran yang sudah di depan mata, ya sejak ku ikuti acara ini rasanya setoran adalah saat-saat paling menegangkan, karena jika setorannya tidak lancar, maka tidak boleh melanjutkan hapalan alias mengulang dan jika hal itu terjadi rasanya sia-sia waktu yang terlewati jika akhirnya besok harus menghapal ayat yang sama.
Adzan isya berkumandang memecah keheningan, suara indah yang selalu menemani perputaran bumi. masjid yang tadinya hanya diisi oleh peserta SYAUQY, kini mulai ramai kembali dengan wajah-wajah yang tenang dan penuh kerinduan dengan penciptanya, ya mereka inilah yang bukan termasuk orang munafik seperti yang di sabdakan nabi bahwa “shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya’ dan subuh” ( HR Ahmad)
Saat shalat isya telah ditegakkan dan saat ruh telah terisi, ku ambil kembali mushafku dan kembali aku perlancar hapalanku, ya inilah saat yang di tunggu-tinggu yaitu setoran hapalan. Sekarang aku kan menyetorkan 2 halaman dari pertengahan juz 1. Setelah sedikit mengulang hapalan ku beranikan diri untuk menghadap mustami’ dan Alhamdulillah hapalanku lanjut, yah walaupun masih banyak kesalahan disana sini.
Beginilah ku isi waktu liburanku, bertahan di tanah yang sangat asing untuk lebih mengenal sang maha cinta, dengan sedikit mengorbankan rasa rindu tanah kelahiran, ku lalui hari demi hari hingga genap 1 bulan. Kebersamaan yang terjalin selama satu bulan kini meninggalkan rindu yang amat mendalam. Rasanya 1 bulan berlalu begitu cepat, SYAUQY VII kini hanya tinggal dalam kenangan, kini tibalah masanya untuk menapaki kehidupan yang sebenarnya, tidak akan ada lagi yang mewajibkan untuk setoran siang dan malam, tak akan ada lagi suasana yang hening untuk menghapal bersama. Semua akan terganti oleh hiruk pikuk suasana kuliah, waktu setoran akan tergantikan oleh waktu mengerjakan makalah. Ya hanya mereka yang benar-benar serius yang akan melanjutkan kebiasaan baiknya.
Hanya sebuah lagu ciptaan salah satu peserta SYAUQY VII yang akan mengingatkan kita akan moment-moment indah hari itu. SYAUQI VII memang telah berakhir, tapi bukan berarti semangat dan cita-cita kita untuk membahagiakan orang tua dengan menghapal kalam illahi juga berakhir. Ini bukan akhir, ini adalah awal dari perjuangan yang sebenarnya. Selamat berjuang kawan, semoga kita senantasa di beri keistiqamahan dan semoga kelak kita akan berkumpul kembali, bukan hanya di dunia, tapi juga di jannahnya Allah SWT, aamiin ya rabbal ‘alamin


Terimakasih sudah membaca kisah liburanku, ini adalah lirik lagu ciptaan salah satu peserta SYAUQY VII … J Tamat.

Syauqy VII
(Menggapai Indahnya Cinta Bersama Al-Qur’an)

Hey kamu jangan pernah lupakan aku
Kita pernah bersama disini
30 hari yang menggembirakan
Di SYAHRUL QUR’ANY VII
Bangun pagi shalat malam walaupn masih mengantuk
Tak ada kata patah semangat
Pagi hapalan, siang hapalan, malampun hapalan
Oh SYAUQY, SYAUQY VII, SYAUQY VII
Menggapai indahnya cinta bersama Al-Qur’an….
Kalau pagi hapalan sambil berjalan-jalan
Kalau malam hapalan sampai ketiduran
Apalagi saat setoran
Kok ayatnya membingungkan (bullet kabeh)
SYAUQY VII pasti kan ku kenang
Sampai tua nanti takkan terlupakan
Ku kan tertawa sendiri
Mengenang kisah kita ini
Oh SYAUQY, SYAUQY VII, SYAUQY VII
Menggapai indahnya cinta bersama Al-Qur’an….

SYAUQY VII ...

previous part 2 

Senin, 16 Februari 2015

SYAUQY VII (Menggapai Indahnya Cinta Bersama Al-Qur’an) Part 2

SYAUQY VII
(Menggapai Indahnya Cinta Bersama Al-Qur’an)
PART 2
Dalam kegelapan ku lihat dua orang yang sangat aku kenal, dua orang yang sangat aku cinta dan sayangi. Ya mereka adalah ayah dan bundaku, dengan berderai air mata, aku berlari mengahmpiri mereka dan mereka langsung memelukku dengan pelukan yang hangat. Ku pandangi wajah bunda inchi demi inchi, ku tatap wajahnya kini telah semakin menua, kerutan di dahinya menggambarkan dengan jelas betapa dahsyatnya rasa rindu ditinggalkan oleh anak-anaknya, ya kini orang tuaku hanya sendiri di rumah. Kaka pertamaku sudah menikah dan memiliki rumah sendiri, aku dan kaka keduaku juga memutuskan untuk kuliah di luar kota yang berarti kami tak bisa pulang pergi dari rumah ke kampus.
Ku pandangi kini mata bunda yang mulai meneteskan air yang bening dan hangat, betapa tidak setelah berbulan-bulan di tinggalkan anaknya, kini kami bisa bersatu kembali dalam pelukan kasih sayang ini. Mataku mulai aku arahkan kepada ayah, tak ada air mata disetiap sudut mata ayah, tapi itu bukan berarti beliau tidak merasa terharu akan kepulanganku, aku yakin didalam hatinya pasti sudah sangat basah dengan tangisan penuh haru, hanya saja ayah tak ingin terlihat lemah dimata siapapun, karena bagi ayah air mata adalah sebuah tanda kelemahan. Ku lepaskan pelukanku dari bunda dan kulingkarkan tanganku ke tubuh ayah, kulihat bunda hanya tersenyum dan kurasakan kini tangan ayah juga mulai melingkar dibelakang punggungku.  Hangat, yah hangat sekali raanya berada dalam pelukan ayah. Perlahan kulihat bunda juga menghampiri kami dan mulai memeluk diriku yang sedang dalam pelukan ayah.  Tapi tiba-tiba bunda dan ayah melepaskan pelukannya dan mulai pergi menjauh dariku, aku berlari mengejar mereka dengan  bercucuran air mata, terus ku kejar mereka akan tetapi mereka terus menjauh dan perlahan-lahan ditelan kegelapan dan saat itu pula terdengar suara nada “kriirngg…. Kringgg…  kriiinggg …!!!” aku terkejut dan langsung terbangun, ternyata yang kulihat tadi hanyalah mimpi, tapi sangat tersa nyata dan kulihat bantalku juga basah dengan air mata, ku pandangi cermin dan kulihat mataku yang  sembab, yah dalam tidurku aku menangis menahan hantaman rindu yang semakin menggebu. Terasa nyenyak sekali tidur setelah shalat subuh. Ku lihat jam yang ada di handphone ku “ hah.. sudah jam 08.45” ku lupakan kerinduan itu dan aku bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku karena jam 09.00 aku harus menyetorkan hapalanku.
Matahari kini telah terbit, menghangatkan bumi yang sedang aku singgahi, waktu dhuha telah datang ku bentangkan sajadah dan mulai menikmati setiap gerakan sholatku, gerakan yang anggun dan syarat akan makna, salah satunya adalah sujud, mengapa pada saat sujud kepala yang selalu di bangga-banggakan manusia kini sejajar dengan kedua telapak tangan, kedua siku, kedua lutut kaki, dan kedua jari-jemari kaki ? bahkan muka yang sangat terhormatpun kini menempel dengan tanah. Pada hakikatnya sujud mengingatkan manusia dari awal penciptaannya yaitu dari tanah. Disamping itu juga tanah merupakan tanda kehinaan dan kerendahan diri manusia di hadapan Allah SWT, dengan sujud kita melakukan penyerahan diri secara totalitas kepada dzat yang maha agung lagi maha tinggi. Setelah selelsai sholat dan bermunajat kepadaNya, ku ulang sedikit hapalan yang akan ku setorkan. Setelah merasa cukup lancar ku kecup lagi Al-Qur’anku dan mulai memeluknya untuk di bawa ke tempat setoran.
Kicauan burung saling sahut menyahut, seperti sedang berbicara dengan burung yang lainnya entah apa yang dibicarakan, mungkinkah saat itu burung-burung sedang berbicara mengenaiku atau ingin berbicara mengenai keadaan keluargaku, ah andai bahasa burung termasuk pada mata kuliah, ingin sekali rasanya aku bisa menitipkan pasan kepada meraka, aku ingin menitipkan salam rinduku kepada keluarga dan teman-teman semasa MAN yang amat ku rindukan, sudah lama sekali rasanya tidak berjumpa dengan mereka. Sambil terus berjalan ku amati keadaan sekeliling pondok, amat berbeda dari biasanya. Sepi, seperti tak pernah ada ratusan mahasantri yang tinggal disini, pintu-pintu pondok terbuka dan jendela-jendela di tiap kamarnya pun terbuka siang dan malam. Jika pada hari-hari biasa ada saja pakaian yang menggantung di jendela-jendela kamar dan sepatu+sandal yang tercecer di luar gedung pondok, kini semuanya bersih dan rapi. Entah kenapa kebersihan dan kerapihan itu yang membuatku merasa aneh, membuatku merasa tidak nyaman, karena dengan tidak adanya pakaian dan sepatu yang tercecer membuatku semakin sadar bahwa aku disini sendirian, ya sendirian hanya ditemani para penghafal yang jumlahnya tak lebih dari 10 orang.
“wahai tuhanku bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatmu”. Setelah kubaca do’a itu ku langkahkan kaki kanan ku dan mulai memasuki rumah Allah SWT yang sejuk. Di dalam masjid sudah berkumpul teman-teman ku yang lain. Ada yang sedang memperlancar hapalannya dan ada juga yang sedang setoran. Kupilih untuk duduk sebentar dan memperlancar lagi apa yang ingin aku setorkan. Kali ini aku akan muroja’ah yaitu mengulang kembali hapalan yang telah aku setorkan tapi mengulangnya dihadapan guru (mustami’). Bagiku muroja’ah lebih sulit dibandingkan menyetorkan hapalan baru, karena jika menyetorkan hapalan baru paling 1 lembar atau 2 halaman. Tapi jika muroja’ah kita harus mampu menghapal apa yang telah disetorkan. Aku diperintahkan untuk muroja’ah per seperempat juz atau 5 lembar. Ya beginilah menghafal Al-Qur’an, bukan hanya menambah hapalan tiap harinya akan tetapi juga mampu untuk menjaga apa yang telah dihapal dan menjaga lebih sulit daripada memulai.
Walaupun telah ku ulang berkali-kali tapi tetap saja kesalahan masih saja menyertaiku saat setoran, terkadang aku tak tahu apa ayat selanjutnya setelah ayat ini, atau aku lupa bagian terakhir ayat seperti apakah la’allakum tuflihun atau la’alakum turhamun dan lain sebagainya.

Matahari kini hampir sampai di atas kepala, suara adzan mulai menggema di bumi cinta yang aku singgahi ini, dikarenakan rindu untuk segera bertemu dengan penciptaku, dengan kemeja putih dan sarung biru bergaris, ku percepat langkahku menuju tempat bertemunya manusia dengan penciptanya, kulihat juga penduduk sekitar kampus bergegas menuju tempat yang sama, ya di masjid ini bukan hanya civitas akademika yang melakasanakan ibadahnya akan tetapi masyarakat sekitar kampus juga melaksanakan ibadahnya disini karena masjid kampus yang bisa dibilang cukup besar dan dekat dengan perumahan warga. 
Setelah melaksanakan kewajiban sebagai umat islam, ah rasanya bukan kewajiban tapi kebutuhan, ya kurasa sholat telah menjadi kebutuhan karena jika belum melaksanakan shalat rasanya ada yang kurang, seperti orang Indonesia yang sebelum makan nasi walaupun telah makan biscuit, pilus, kacang dan makanan ringan yang lainnya tapi tetap saja merasa ada yang kurang, nasi. Ya, nasi lah yang selalu mengisi perut orang-orang Indonesia akan tetapi terkadang ada yang lupa bahwa bukan hanya jasad saja yang membutuhkan makan, bukan hanya perut saja yang harus diisi tapi ruh juga harus diisi, ruh juga harus diberi makan, seperti nasi yang sudah menjadi kebutuhan, ibadah kepada sang pencipta juga seharusnya dijadikan kebutuhan agar ruh tidak kering. Itulah problematika masyarakat modern saat ini, dengan kemajuan zaman yang sangat pesat, teknologi yang kian canggih dan semua kemudahan-kemudahan menjalani kehidupan dunia ini tak langsung membuat hati-hati manusianya merasa senang, jika teknologi, harta dan jabatan bisa membuat hati tenang lalu bagaimana kita menjelaskan orang-orang yang terkenal dan berada dalam puncak ketenarannya akan tetapi wafat dengan cara bunuh diri ? ya, justru di zaman yang semakin modern inilah spiritual harus diperkuat.
Aku duduk dan ku sandarkan bahuku di tembok masjid, ku buka mushaf yang suci dan mulai menghapal lagi untuk setoran nanti malam, tak lupa ku ulangi hapalan yang telah disetorkan agar tidak lupa dan hapalannyaa semakin kuat.
 Mata ku terus menyusuri kata-kata indah penuh makna dalam Al-Qur’an dan aku  terhenti saat mengulang ayat 38-39 dari surat Al-Baqarah, hatiku tiba-tiba terasa sesak, mataku mulai memerah. ku ulangi bacaanku tadi, kali ini entah kenapa suaraku terisak, butiran bening mulai turun dari kedua sudut mataku. Aku teringat panjelasan dari guruku bahwa dalam kitab tafsir jalalain karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi dan Imam Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally dikatakan bahwa tafsir dari ayat itu adalah
 038. (Kami berfirman, "Turunlah kalian daripadanya") maksudnya dari surga (semuanya) diulanginya dan dihubungkan-Nya dengan kalimat yang mula-mula tadi (kemudian jika) asalnya dari 'in maa' yang diidgamkan menjadi 'immaa' yang berarti jika; 'in' huruf syarat dan 'maa' sebagai tambahan. (datang petunjuk-Ku kepada kalian) berupa Kitab dan rasul, (maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku) lalu ia beriman kepada-Ku dan beramal serta taat kepada-Ku (niscaya tak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka berduka cita), yakni di akhirat kelak, karena mereka akan masuk surga.
039. (Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami) mendustakan kitab-kitab suci Kami (mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya) mereka tetap tinggal di sana untuk selama-lamanya, tidak akan mati dan tidak pula akan keluar.

Sungguh indah nikmat Allah SWT bagi orang yang beriman kepadaNya dan sungguh pedih adzab Allah SWT bagi yang ingkar kepadaNya. Saat ku baca ayat itu, batinku menangis mengingat dosa-dosa yang salama ini telah aku lakukan, aku dengan sadar bahkan bangga dengan dosa-dosa yang aku kerjakan, saat aku bercanda dengan temanku mungkin saat itu dia tertawa, tapi aku tak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan dalam hatinya. Dalam melaksanakan ibadah pun terkadang niatku tidak tulus demi mengharapkan ridhaMu, aku ibadah karena aku mengharap agar bisa memasuki surgamu yang engkau gambarkan dengan tempat segala kenikmatan, tempat yang segalanya bisa terkabul atau aku beribadah karena takut akan nerakaMu yang engkau gambarkan sebagai tempat paling hina dari segala tempat, tempat yang didalamnya terdapat api yang nyala apinya bisa membekar sampai ke uluh hati.
Aku teringat sebuah syair dari seorag sufi wanita yang cintanya kepada Allah SWT melebihi cintanya kepada apapun didunia ini, dia adalah Rabiah Al-Adawiyah.
Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku padaNya
Ya Allah, jika aku menyembahMu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembahMu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembahMu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
Yang abadi padaku
Alangkah buruknya,
Orang yang menyembah Allah
Lantaran mengharap surga
Dan ingin diselamatkan dari api neraka
Seandainya surga dan neraka tak ada
Apakah engkau tidak akan menyembah-Nya?
Aku menyembah Allah
Lantaran mengharap ridha-Nya
Nikmat dan anugerah yang diberikan-Nya
Sudah cukup menggerakkan hatiku
Untuk menyembah-Mu

Bersambung...
Previous part 1                                                                                 Next part 3

Sabtu, 14 Februari 2015

SYAUQY VII (Menggapai Indahnya Cinta Bersama Al-Qur’an)

SYAUQY VII
(Menggapai Indahnya Cinta Bersama Al-Qur’an)

PART 1
Malang, sebuah kota yang indah, kota yang bisa menyihir para pencari ilmu untuk bisa melanjutkan studinya kemari, dengan suasana yang masih hijau dan udara yang segar membuat banyak pendatang yang singgah ke kota ini. Kota dengan hampir seluruh perguruan tinggi Negerinya terakreditasi A dan kota yang terletak di tanah jawa timur, tanah yang telah melahirkan ulama-ulama besar yang terkenal, tanah yang dalamnya berdiri pondok-pondok pesantren yang melahirkan calon-calon pemimpin umat berbasis agama dan tanah yang melahirkan para penghafal-penghafal Al-Quran.
Kala mentari masih berada di singgasananya dan dingin masih menyelimuti bumi Malang, aku terbangun dari mimpi panjangku, ku buka mata perlahan dan mulai kutatap kamar yang telah menemaniku selama 6 bulan belakangan ini. Mataku menyusuri setiap ujung ruangan dan tak ada seorang pun disini, aku lupa hari ini adalah hari liburan semester 1, semua teman satu kamarku pulang ke kampung halamannya untuk bertemu keluarganya di rumah.
Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu dan bersiap menghadap sang maha pemberi cinta untuk selanjutnya menyiapkan hapalan untuk disetorkan nanti siang.
Oh iyah perkenalkan namaku Ali. Saat ini aku sedang menimba ilmu di salah satu Ma’had ( pondok ) Universitas yang ada di kota malang, yaitu Ma’had sunan Ampel Al-Aly, Universitas Maulana Malik Ibrahim. Saat teman-teman satu pondokku pulang menikmati liburan, aku memilih untuk mengikuti acara yang diadakan oleh HTQ (Haiah Tahfidzul Qur’an) yaitu acara yang bernama SYAUQY. Sebenarnya SYAUQY adalah singkatan dari SYAHRUL QUR'ANY ( bulan Al-qur’an ) akan tetapi SYAUQY sendiri dalam bahasa arab berarti "Rindu", yah untuk liburan kali ini ku putuskan untuk menunda rasa rinduku bertemu kedua orang tua untuk satu bulan bercengkrama dan menghafal ayat-ayat yang maha indah yang tertuang dalam kitab Al-Qur’an.
Aku dahulu dikenal sebagai “anak mami”, mungkin karena sebab itu banyak teman-teman yang meragukanku untuk tidak pulang dan mengikuti acara ini. Bahkan pada suatu malam ayahku menelvon dan mengatakan aku harus pulang karena aku belum siap untuk jauh dari orang tua dengan waktu yang lama, ya bahkan orang tuaku sendiri pun meragukan niatku ini. Tapi dengan tegas akan tetapi dengan kata-kata yang halus ku katakan, “Ayah, aku berniat untuk lebih dekat dan mengenal sang penciptaku melalui kalam-Nya, bukankah itu adalah hal yang baik, aku berjanji aku tidak apa-apa disini, bukankah lebih baik pulang saat aku bisa membawa sesuatu daripada pulang hanya membawa kerinduan semata?” ku renungi kata-kataku barusan apakah akan menyinggung perasaan orang tuaku, tapi Alhamdulillah kedua orang tuaku sepakat dan mengizinkanku untuk lebih lama berada di kota pendidikan ke-2 ini.
Adzan subuh berkumandang memanggil para hamba Allah yang masih terlelap dalam tidurnya untuk segera terbangaun dan menghadapNya. Ku selesaikan hapalanku dan ku kecup penuh kasih sayang Al-qur’an ku dan ku tempelkan ke dada, dekat dengan hati dan ku bawa ke masjid untuk ku lanjutkan hafalan ku setelah shalat subuh.
Saat shalat subuh telah selesai didirikan kulihat beberapa temanku sudah duduk bersandar di tiang-tiang masjid sambil tangannya memegang Al-qur’an akan tetapi matanya ada yang dipejamkan ada juga yang melihat ke atas, ya mereka sedang menghapal juga. Rasanya baru kemarin aku memimpikan hal ini. Teringat dalam pikiranku saat pertama ku injakan kaki di Universitas ini, ku lihat banyak orang-orang yang duduk di serambi masjid sambil menghafal Al-Qur’an, ada sedikit rasa iri kepada mereka saat melihat mereka dengan wajah yang tenang dan bahagia menghafal ayat-ayat indah Al-Qur’an dan sempat ku berdo’a “Ya tuhanku, engkau yang maha mengetahui jalan hidupku, perkenankanlah aku untuk mengikuti mereka, mengenal lebih dekat dirimu melalui ayat-ayat indahmu” . dadaku serasa sesak saat mengingat hal itu, aku terharu saat hapalanku mencapai ayat yang berbunyi
Waidza saalaka ‘ibadi ‘anni fainni qarib. ujibu da’watad-da’i idza da’an. falyastajibu li wal-yu' minu bi la’allahum yarshudun”
186. dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Bukan hal yang mudah memang untuk menghafal ayat-ayat maha dahsyat ini, diperlukan ketekunan dan kesabaran yang tinggi.
Saat mata dan kepala mulai tak tahan lagi menahan kantuk, ku cukupkan menghapal kali ini dengan kecupan di permukaan Al-quran dan berdoa “Ya Allah rahmatilah kami dengan al Qur’an. Jadikan ia imam kami, cahaya, petunjuk dan rahmat bagi kami. Ya Allah ingatkanlah kami apa yang kami lupa dan ajarkan bagi kami apa yang kami jahil. Karuniakanlah kepada kami untuk dapat membacanya sepanjang malamnya dan sepanjang siangnya. Jadikanlah ia perisai kami. Wahai Tuhan sekalian alam.”

setelah itu ku bawa Al-qur’anku kembali ke pondok dan mulai ku pejamkan mata agar tidak mengantuk saat setoran. bersambung....
Next part 2
 

Blogger news

Blogroll

About