SYAUQY
VII
(Menggapai Indahnya Cinta Bersama Al-Qur’an)
PART 2
Dalam
kegelapan ku lihat dua orang yang sangat aku kenal, dua orang yang sangat aku
cinta dan sayangi. Ya mereka adalah ayah dan bundaku, dengan berderai air mata,
aku berlari mengahmpiri mereka dan mereka langsung memelukku dengan pelukan
yang hangat. Ku pandangi wajah bunda inchi demi inchi, ku tatap wajahnya kini
telah semakin menua, kerutan di dahinya menggambarkan dengan jelas betapa
dahsyatnya rasa rindu ditinggalkan oleh anak-anaknya, ya kini orang tuaku
hanya sendiri di rumah. Kaka pertamaku sudah menikah dan memiliki rumah
sendiri, aku dan kaka keduaku juga memutuskan untuk kuliah di luar kota yang
berarti kami tak bisa pulang pergi dari rumah ke kampus.
Ku
pandangi kini mata bunda yang mulai meneteskan air yang bening dan
hangat, betapa tidak setelah berbulan-bulan di tinggalkan anaknya, kini kami
bisa bersatu kembali dalam pelukan kasih sayang ini. Mataku mulai aku
arahkan kepada ayah, tak ada air mata disetiap sudut mata ayah, tapi itu bukan
berarti beliau tidak merasa terharu akan kepulanganku, aku yakin didalam
hatinya pasti sudah sangat basah dengan tangisan penuh haru, hanya saja ayah
tak ingin terlihat lemah dimata siapapun, karena bagi ayah air mata adalah
sebuah tanda kelemahan. Ku lepaskan pelukanku dari bunda dan kulingkarkan
tanganku ke tubuh ayah, kulihat bunda hanya tersenyum dan kurasakan kini tangan
ayah juga mulai melingkar dibelakang punggungku. Hangat, yah hangat sekali raanya berada dalam
pelukan ayah. Perlahan kulihat bunda juga menghampiri kami dan mulai memeluk
diriku yang sedang dalam pelukan ayah.
Tapi tiba-tiba bunda dan ayah melepaskan pelukannya dan mulai pergi
menjauh dariku, aku berlari mengejar mereka dengan bercucuran air mata, terus ku kejar mereka
akan tetapi mereka terus menjauh dan perlahan-lahan ditelan kegelapan dan saat
itu pula terdengar suara nada “kriirngg…. Kringgg… kriiinggg …!!!” aku terkejut dan langsung
terbangun, ternyata yang kulihat tadi hanyalah mimpi, tapi sangat tersa nyata
dan kulihat bantalku juga basah dengan air mata, ku pandangi cermin dan kulihat
mataku yang sembab, yah dalam tidurku
aku menangis menahan hantaman rindu yang semakin menggebu. Terasa nyenyak
sekali tidur setelah shalat subuh. Ku lihat jam yang ada di handphone ku “
hah.. sudah jam 08.45” ku lupakan kerinduan itu dan aku bergegas menuju kamar
mandi untuk membersihkan tubuhku karena jam 09.00 aku harus menyetorkan
hapalanku.
Matahari
kini telah terbit, menghangatkan bumi yang sedang aku singgahi, waktu dhuha
telah datang ku bentangkan sajadah dan mulai menikmati setiap gerakan sholatku,
gerakan yang anggun dan syarat akan makna, salah satunya adalah sujud, mengapa
pada saat sujud kepala yang selalu di bangga-banggakan manusia kini sejajar
dengan kedua telapak tangan, kedua siku, kedua lutut kaki, dan kedua
jari-jemari kaki ? bahkan muka yang sangat terhormatpun kini menempel dengan
tanah. Pada hakikatnya sujud mengingatkan manusia dari awal penciptaannya yaitu
dari tanah. Disamping itu juga tanah merupakan tanda kehinaan dan kerendahan
diri manusia di hadapan Allah SWT, dengan sujud kita melakukan penyerahan diri
secara totalitas kepada dzat yang maha agung lagi maha tinggi. Setelah selelsai
sholat dan bermunajat kepadaNya, ku ulang sedikit hapalan yang akan ku
setorkan. Setelah merasa cukup lancar ku kecup lagi Al-Qur’anku dan mulai memeluknya
untuk di bawa ke tempat setoran.
Kicauan
burung saling sahut menyahut, seperti sedang berbicara dengan burung yang
lainnya entah apa yang dibicarakan, mungkinkah saat itu burung-burung sedang
berbicara mengenaiku atau ingin berbicara mengenai keadaan keluargaku, ah andai
bahasa burung termasuk pada mata kuliah, ingin sekali rasanya aku bisa
menitipkan pasan kepada meraka, aku ingin menitipkan salam rinduku kepada
keluarga dan teman-teman semasa MAN yang amat ku rindukan, sudah lama sekali
rasanya tidak berjumpa dengan mereka. Sambil terus berjalan ku amati keadaan sekeliling
pondok, amat berbeda dari biasanya. Sepi, seperti tak pernah ada ratusan
mahasantri yang tinggal disini, pintu-pintu pondok terbuka dan jendela-jendela
di tiap kamarnya pun terbuka siang dan malam. Jika pada hari-hari biasa ada
saja pakaian yang menggantung di jendela-jendela kamar dan sepatu+sandal yang
tercecer di luar gedung pondok, kini semuanya bersih dan rapi. Entah kenapa
kebersihan dan kerapihan itu yang membuatku merasa aneh, membuatku merasa tidak
nyaman, karena dengan tidak adanya pakaian dan sepatu yang tercecer membuatku
semakin sadar bahwa aku disini sendirian, ya sendirian hanya ditemani para
penghafal yang jumlahnya tak lebih dari 10 orang.
“wahai
tuhanku bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatmu”. Setelah kubaca do’a itu ku langkahkan
kaki kanan ku dan mulai memasuki rumah Allah SWT yang sejuk. Di dalam masjid
sudah berkumpul teman-teman ku yang lain. Ada yang sedang memperlancar
hapalannya dan ada juga yang sedang setoran. Kupilih untuk duduk sebentar dan
memperlancar lagi apa yang ingin aku setorkan. Kali ini aku akan muroja’ah
yaitu mengulang kembali hapalan yang telah aku setorkan tapi mengulangnya
dihadapan guru (mustami’). Bagiku muroja’ah lebih sulit dibandingkan
menyetorkan hapalan baru, karena jika menyetorkan hapalan baru paling 1 lembar
atau 2 halaman. Tapi jika muroja’ah kita harus mampu menghapal apa yang telah
disetorkan. Aku diperintahkan untuk muroja’ah per seperempat juz atau 5 lembar.
Ya beginilah menghafal Al-Qur’an, bukan hanya menambah hapalan tiap harinya akan
tetapi juga mampu untuk menjaga apa yang telah dihapal dan menjaga lebih sulit
daripada memulai.
Walaupun
telah ku ulang berkali-kali tapi tetap saja kesalahan masih saja menyertaiku
saat setoran, terkadang aku tak tahu apa ayat selanjutnya setelah ayat ini,
atau aku lupa bagian terakhir ayat seperti apakah la’allakum tuflihun atau la’alakum
turhamun dan lain sebagainya.
Matahari
kini hampir sampai di atas kepala, suara adzan mulai menggema di bumi cinta
yang aku singgahi ini, dikarenakan rindu untuk segera bertemu dengan penciptaku,
dengan kemeja putih dan sarung biru bergaris, ku percepat langkahku menuju
tempat bertemunya manusia dengan penciptanya, kulihat juga penduduk sekitar
kampus bergegas menuju tempat yang sama, ya di masjid ini bukan hanya civitas
akademika yang melakasanakan ibadahnya akan tetapi masyarakat sekitar kampus
juga melaksanakan ibadahnya disini karena masjid kampus yang bisa dibilang cukup
besar dan dekat dengan perumahan warga.
Setelah
melaksanakan kewajiban sebagai umat islam, ah rasanya bukan kewajiban tapi
kebutuhan, ya kurasa sholat telah menjadi kebutuhan karena jika belum melaksanakan
shalat rasanya ada yang kurang, seperti orang Indonesia yang sebelum makan nasi
walaupun telah makan biscuit, pilus, kacang dan makanan ringan yang lainnya
tapi tetap saja merasa ada yang kurang, nasi. Ya, nasi lah yang selalu mengisi
perut orang-orang Indonesia akan tetapi terkadang ada yang lupa bahwa bukan
hanya jasad saja yang membutuhkan makan, bukan hanya perut saja yang harus
diisi tapi ruh juga harus diisi, ruh juga harus diberi makan, seperti nasi yang
sudah menjadi kebutuhan, ibadah kepada sang pencipta juga seharusnya dijadikan
kebutuhan agar ruh tidak kering. Itulah problematika masyarakat modern saat
ini, dengan kemajuan zaman yang sangat pesat, teknologi yang kian canggih dan
semua kemudahan-kemudahan menjalani kehidupan dunia ini tak langsung membuat
hati-hati manusianya merasa senang, jika teknologi, harta dan jabatan bisa
membuat hati tenang lalu bagaimana kita menjelaskan orang-orang yang terkenal
dan berada dalam puncak ketenarannya akan tetapi wafat dengan cara bunuh diri ?
ya, justru di zaman yang semakin modern inilah spiritual harus diperkuat.
Aku
duduk dan ku sandarkan bahuku di tembok masjid, ku buka mushaf yang suci dan
mulai menghapal lagi untuk setoran nanti malam, tak lupa ku ulangi hapalan yang
telah disetorkan agar tidak lupa dan hapalannyaa semakin kuat.
Mata ku terus menyusuri kata-kata indah penuh
makna dalam Al-Qur’an dan aku terhenti
saat mengulang ayat 38-39 dari surat Al-Baqarah, hatiku tiba-tiba terasa sesak,
mataku mulai memerah. ku ulangi bacaanku tadi, kali ini entah kenapa suaraku
terisak, butiran bening mulai turun dari kedua sudut mataku. Aku teringat
panjelasan dari guruku bahwa dalam kitab tafsir jalalain karya Imam Jalaluddin
As-Suyuthi dan Imam Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally dikatakan bahwa tafsir
dari ayat itu adalah
038. (Kami berfirman, "Turunlah kalian
daripadanya") maksudnya dari surga (semuanya) diulanginya dan
dihubungkan-Nya dengan kalimat yang mula-mula tadi (kemudian jika) asalnya dari
'in maa' yang diidgamkan menjadi 'immaa' yang berarti jika; 'in' huruf syarat
dan 'maa' sebagai tambahan. (datang petunjuk-Ku kepada kalian) berupa Kitab dan
rasul, (maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku) lalu ia beriman kepada-Ku
dan beramal serta taat kepada-Ku (niscaya tak ada kekhawatiran atas mereka dan
tidak pula mereka berduka cita), yakni di akhirat kelak, karena mereka akan
masuk surga.
039. (Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan
ayat-ayat Kami) mendustakan kitab-kitab suci Kami (mereka itu penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya) mereka tetap tinggal di sana untuk selama-lamanya,
tidak akan mati dan tidak pula akan keluar.
Sungguh
indah nikmat Allah SWT bagi orang yang beriman kepadaNya dan sungguh pedih
adzab Allah SWT bagi yang ingkar kepadaNya. Saat ku baca ayat itu, batinku
menangis mengingat dosa-dosa yang salama ini telah aku lakukan, aku dengan
sadar bahkan bangga dengan dosa-dosa yang aku kerjakan, saat aku bercanda
dengan temanku mungkin saat itu dia tertawa, tapi aku tak tahu apa yang
sebenarnya dia rasakan dalam hatinya. Dalam melaksanakan ibadah pun terkadang
niatku tidak tulus demi mengharapkan ridhaMu, aku ibadah karena aku mengharap
agar bisa memasuki surgamu yang engkau gambarkan dengan tempat segala
kenikmatan, tempat yang segalanya bisa terkabul atau aku beribadah karena
takut akan nerakaMu yang engkau gambarkan sebagai tempat paling hina dari
segala tempat, tempat yang didalamnya terdapat api yang nyala apinya bisa
membekar sampai ke uluh hati.
Aku
teringat sebuah syair dari seorag sufi wanita yang cintanya kepada Allah SWT
melebihi cintanya kepada apapun didunia ini, dia adalah Rabiah Al-Adawiyah.
Aku
mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku padaNya
Ya
Allah, jika aku menyembahMu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembahMu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembahMu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
Yang abadi padaku
Alangkah
buruknya,
Orang yang menyembah Allah
Lantaran mengharap surga
Dan ingin diselamatkan dari api neraka
Seandainya
surga dan neraka tak ada
Apakah engkau tidak akan menyembah-Nya?
Aku
menyembah Allah
Lantaran mengharap ridha-Nya
Nikmat dan anugerah yang diberikan-Nya
Sudah cukup menggerakkan hatiku
Untuk menyembah-Mu
Bersambung...